URGENSINYA BER-ILMU DALAM BER-PUASA
URGENSINYA BER-ILMU DALAM BER-PUASA
Oleh : H. M. Mansyur (Direktur Kerjasama dan Pengembangan Nurmilad Boarding School)
1. Rasulullah SAW bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ ِصيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ .
“Banyak dari orang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga”.
2. Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya; berkata, “Al-’Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali”, : Ilmu (Didahulukan) sebelum Perkataan dan Perbuatan. Beliau berdalil dengan ayat :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ketahuilah (berilmulah), bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonkanlah ampunan bagi dosamu” (Q.S Muhammad: 19).
3. Al-Qur’an Surat Al-Isra’ (17): 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya :“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
Suat An- Nahl : 43
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Ibadah dalam Islam
Puasa sebagai salah satu ibadah wajib, maka kita harus faham dahulu apa itu ibadah? Ibadah secara bahasa adalah tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan secara istilah atau syara’, ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai perintah-Nya,
Ibadah dibagi dalam 2 (dua) jenis
1. Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung, dengan prinsip
a. Sesuai dengan perintah Allah, dibuktikan dengan adanya dalil;
b. Sesuai dengan yang dicontohkan Rasul SAW;
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi:
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya, dengan prinsip;
a. Keberadaannya, sepanjang tidak adanya dalil yang melarang.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul;
c. Bersifat rasional, sesuai dengan akal atau logika;
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Ibadah Puasa Mensucikan Jiwa dari Dosa
Makna Dosa : Sabda Nabi SAW : Dosa adalah apa yang bergetar dihatimu dan kamu tidak suka dilihat orang lain. Dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, dosa dengan istilah al itsmu, al dzanbu dan al wizru. Itsmun artinya arak/tuak sama dengan khamer atau bermakna lambat. Dzanbun artinya belakang sesuatu atau ekor binatang. Sedang wizrun artinya beban atau senjata tajam.
Dosa disebut sebagai itsmun, dengan dosa yang dilakukan manusia menyebabkan manusia lambat menangkap kebenaran dan malas mengerjakan kebaikan. Dosa menyebabkan manusia menjadi bodoh dan lelet dalam menerima petunjuk keimanan dalam membedakan yang hak dan yang bathil.
Dosa dinamakan juga dzanbun, karena dosa laksana ekor atau buntut yang terus memanjang setiap kali melakukan kemaksiatan, makin banyak dan besar dosanya, maka makin besar dan panjang ekornya, orang yang berbuat dosa akan menanggung banyak akibat perbuatan dosa, setiap perbuatan dosa pasti berbuntut panjang dan berakibat buruk yang menyebabkan pelakunya sulit berinteraksi dan kaku bergaul karena tertelikung dengan buntut.
Wizrun artinya dosa itu akan membebani jiwa manusia. Jiwa manusia itu hakekatnya suci pada dasarnya menolak perbuatan dosa. Pada saat manusia berbuat dosa, jiwanya akan berontak dan memberi sinyal menolak. Kalau manusia terus bergumul dengan dosa, maka jiwa lama lama akan melemah dan akhirnya mati, akhirnya menjadi terbiasa dan nyaman dengan kemaksiatan, padahal mereka itu telah mengalami kematian jiwanya.
Urgensinya ber-ilmu dalam ber-Puasa
Puasa itu memiliki kekuatan yang mampu membakar jiwa untuk menghancurkan syahwat dan hawa nafsu, sehingga tidak akan mendominasi fikiran dan hatinya sampai menjadi manusia yang bersih dari noda-noda dosa. Semua itu akan tercipta dalam diri manusia yang berpuasa yaitu akal dan hatinya disehatkan dan dikuatkan dalam mengendalikan, dalam memimpin diri sendiri sepanjang hidup di dunia.
Dalam menjalankan ibadah Puasa dituntut, memiliki pengetahuan tentang puasa artinya Apakah puasa yang selama ini dijalankan sudah sesuai dengan hakekat sebenarnya, baik menyangkut niat, pelaksanaan maupun amalan-amalan ibadah yang melengkapi dan menyempurnakan nilai-nilai dalam ibadah puasa, selalu mempertimbangkan pilihan yang terbaik dari berbagai pilihan ibadah yang paling bermanfaat dalam mengisi ibadah puasa, seperti lebih baik membaca al-qur’an dari pada tidur bahkan tidak terbesit sedikitpun untuk melakukan perbuatan, sekalipun perbuatan itu bernilai makruh, apalagi yang dilarang atau haram yang dapat merusak nilai ibadah puasa, sehingga keluar dari puasa benar-benar menjadi manusia yang ber-taqwa, manusia yang fitrah seperti bayi yang baru lahir, sekaligus terampuni segala dosa dan terbebabas dari siksa api neraka.
Atau ibadah Puasa yang dijalankan selama ini, lebih bersifat “fiqhiyyah” atau tidak lebih dari itu, artinya puasa hanya dilihat dari sah tidaknya berpuasa dari sisi fiqh, syarat dan rukun maupun larangannya, fiqh memamg penting tetapi itu belum cukup, kalau selama ini puasa dijalankan, hanya bersifat fiqh atau hanya bersifat sah tidaknya secara fiqih, tentu tidak ada perubahan peningkat ibadah puasa yang dijalankan dari tahun ke tahun bahkan hanya dapat lapar dan dahaga saja, sehingga keluar dari bulan Puasa, tidak berdampak apa-apa, alias sama saja atau bahkan lebih buruk tingkah laku di masyarakat yang tidak mencerminkan sebagai manusia bertaqwa.
Contoh : Seorang sahabat wanita menghadap Rasulullah SAW, dipersilahkan untuk minum oleh Rasulullah, apa jawab wanita tersebut, saya sedang berpuasa, pertanyaan itu diulang kembali oleh Rasulullah untuk minum, akhirnya Rasulullah mengatakan Saudara telah berbuka, karena pagi tadi Saudara menggunjing tetangganya, untuk membuktikan tamu perempuan itu disuruh memutahkan suatu dari perutnya, akhirnya keluarlah daging busuk. Secara fiqh telah berpuasa, karena tidak makan, minum, tetapi belum mampu mempuasakan jiwanya.
Inilah yang dikatakan puasa “awam” atau Puasanya orang umum (awam), yaitu puasa yang dilakukan hanya dengan tujuan untuk menahan kemauan perut dan kelamin saja. Puasa yang dilakukan sekedar mengerti bahwa dirinya saat itu sedang diwajibkan berpuasa namun tidak pernah mengerti, untuk apa puasa itu diwajibkan.Rasulullah SAW bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ ِصيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ .
“Banyak dari orang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga”.
Hadits Riwayat Bukhari, artinya :“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta (dalam berpuasa) dan tetap melakukannya, maka Allah SWT tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari)
A’mal : bertingkah laku seperti yang dikehendaki dalam Ibadan Puasa
Puasa yang kita lakukan harus mampu melahirkan perbuatan, tingkah laku secara lahir dan bathin yang senantiasa taat kepada Allah, sebagaimana makna dan hakekat dalam menjalankan ibadah puasa
Secara konkrit sebagai hasil dari ibadah puasa, akan menimbulkan solidaritas sosial, dengan mudah untuk membantu sesama, untuk kepentingan sosial keagamaan, bahkan secara bathin atau psikologi hasil dari ibadah puasa itu akan mampu meningkatkan rohani yang lebih tinggi atau besar dari pada tubuh atau fisik atau jasmanai, sehiga akan mampu mengendalikan keinginan, kebutuhan tubuh atau fisik yang bersifat keduniawian, terhindar dari cinta dunia.
Dengan pemahaman dan kemampuan keilmuan sebagai landasan dalam pelaksanaan ibadah puasa sekaligus mampu mewujudkan amal perbuatan. Insya Allah kita bukan termasuk “hanya memperoleh lapar dan dahaga” dalam berpuasa, aamiien
Demikian,
Tidak ada komentar
Posting Komentar