Ilmu Tanpa Adab, Bak Menghinakan Diri Sendiri
Masih ingatkah kita di masa SD, saat kita mau upacara bendera setiap hari senin? Mulai dari tuntutan barisan yang harus rapi, pakaian lengkap dengan topi, dasi, serta kaus kaki hitam polos, hingga tidak boleh bersuara. Jika salah satu dari perlengkapan dan aturan ini kita langgar, bisa saja kita di "hinakan" di tengah lapangan sekolah. Ya, inilah salah satu adab dalam upacara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adab di lekatkan pada kehalusan, kebaikan budi pekerti, budi, kesopanan, dan akhlak. Semua ini ditujukan untuk mencapai kemajuan lahir dan batin (peradaban). Maknanya, semakin baik adab kita semakin maju diri kita. sebaliknya, semakin buruk adab kita, semakin "hina" diri kita.
Terang saja, adab begitu urgensional dalam kehidupan. Buktinya, kita diajarkan adab sejak dini. Konsekuensinya kalau tidak diberi reward berupa pujian, diberi punishment sebagai efek jera. Misalnya ketika siswa datang terlambat, ia diberikan tugas piket tambahan dan sejenisnya. Diharapkan dengan tugas itu siswa tidak akan mengulangi pelanggaran adab sekolah lagi.
Dari sekolah, kita bisa mengukur keutamaan adab dibandingkan ilmu. Terbukti dengan rentetan tata krama sekolah yang harus dipenuhi siswa sebelum belajar.
Agak pelik kiranya jika kita menatap era sekarang ini. Pandangan kita setiap saat tidak terlepas dari fenomena berbau kebisingan adab. Mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, OTT, bullying, pemerkosaan, hingga eksploitasi anak.
Jika kasusnya hanya sekedar mencuri sebuah roti karena kelaparan, atau mencuri sebiji telur karena terdesak, mungkin kita cukup mengelus dada karena prihatin.
Jika kasusnya melibatkan orang-orang yang berilmu dan rapi, harusnya butuh punishment berat untuk efek jera. Agak nyentrik kiranya jika kita bandingkan mereka para pejabat bergelar yang korupsi dengan siswa SD.
Siswa SD laki-laki jika rambutnya sudah panjang melebihi daun telinga, biasanya dipotong paksa oleh guru BK. Tentu saja agar rambut mereka dirapikan. Tapi, semua pelaku korupsi rambutnya rapi guys?, celetuk Dodit Mulyanto dalam acara Suci 4 Kompas TV.
Dari sini, apakah mereka para pelaku korupsi tidak menghinakan diri mereka sendiri? Kenapa malah anak SD seakan-akan lebih "beradab" dan mulia dibandingkan para pejabat yang sudah banyak gelar? Kita harus renungkan diri ini!
Sungguh, manusia itu secara lahiriah sudah punya potensi untuk beradab. Mulai dari senyum saat usia bayi, malu tidak berpakaian saat usia anak-anak, malu tidak disiplin saat menginjak dewasa, hingga empati saat dewasa.
Itu semua adalah bentuk dari kemuliaan dan kelembutan hati manusia. Maka dari itu jangan kita hinakan diri ini dengan perbuatan-perbuatan yang mengeraskan hati.
Semakin keras hati, semakin tidak peka diri kita, semakin tidak beradab akhirnya. Ilmu seharusnya melembutkan hati dan mencerahkan pikiran. Makin berilmu makin beradab, bukannya makin meninggikan diri. Mari, banggakan generasi masa depan karena adabnya.
Salam.
Sumber : https://www.kompasiana.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar